Story : STIGMA (1)
Kakiku terus berlari tanpa tahu tujuan. Otakku
takmampu untuk berpikir lagi, semua hal yang kukira sangat indah ini ternyata
hanya sebuah kebohongan .
Mengapa ia
tega sekali menyakiti hati yang sudah tertulis namanya? Apakah segala hal yang
kuberi untuknya itu tidak berarti sama sekali baginya? Mana bukti dari semua
janji manis yang ia berikan padaku? Apakah sudah terbang seperti debu yang
terkena angin?
Aku sudah
lelah dan tidak sanggup lagi. Aku mendengar hal itu dengan jelas dari bibirnya.
Perkataannya yang begitu manis pada sesosok wanita yang dulu pernah ia cintai.
Hatimu
ternyata masih berada pada wanita itu, perasaanmu juga tidak pernah berubah
pada wanita.
Bodoh,
sudah tahu laki-laki itu masih mencintai wanita lain, mengapa dulu aku tetap
bersikeras bertahan untuknya. Bertahan untuk bisa dicintainya, bertahan untuk
dapat memiliki hatinya sepenuhnya.
Kukira
kepedulianku 2 tahun yang lalu itu hanya suatu kepedulian sesama manusia, tapi
nyatanya kepedulianku melebihi dari hal itu, aku memperhatikanmu dengan segenap
hatiku. Aku terus berada disisimu, membantumu. Sampai rasa itu muncul dan tidak
bisa kubohongi lagi, hati ini memilihmu, kenapa kamu? Lalu kenapa kamu
membiarkan aku terjebak dalam perasaan itu? Membiarkan aku terus jatuh dan
sampai kelembah terdalam, hingga perasaan ini sangat sulit untuk bisa diajak
berpaling.
Kamu terus
menjebakku, hingga kamu mengatakan jika kamu juga mencintaiku. Apakah itu
benar-benar tulus? Apakah itu benar-benar dari hatimu? Kurasa tidak, karena
sekarang aku mengerti. Aku hanya sekedar pelarian bagimu.
Air mata
ini terus jatuh dari mataku yang pernah sangat suka memandang wajahmu. Namun
sekarang tidak lagi, mengingat wajahmu hanya akan mengingat hal yang begitu
menyakitkan itu.
Begitu pedih.
Begitu membekas.
Bahkan air mata ini tidak mampu mendeskripsikan
bagaimana hancurnya hatiku saat ini.
Sepertinya
semua ini bukan salahmu sepenuhnya, tapi salahku sendiri. Salahku yang terus
saja bertahan untukmu. Seharusnya aku tidak pernah hadir dalam kehidupanmu.
Seharusnya aku tidak membantumu dalam kecelakaan 2 tahun yang lalu. Nyatanya
sampai detik ini pun hanya aku yang berjuang, hanya aku yang mencintai, hanya
aku dan kesendirianku.
Aku ingin
pulang. Aku tidak peduli lagi bagaimana penampilanku sekarang . Akupun menelpon
Azriel untuk menjemputku, bagaimana bisa aku mengendarai mobil dengan keadaan
seperti ini.
Adikku yang
sekarang berada disampingku hanya diam, dia memang cowok yang sangat malas
hanya untuk berbicara, sok cool padahal aslinya pecicilan dan gak bisa diatur.
Yang kulakukan dimobil sekarang hanya memandang
kejendela dan bersandar pada ujungnya,
aku tahu bocah itu memandangiku daritadi. Ia paham betul bagaimana aku sekarang
, untuk berucap pun tak mampu. Setiap mengingat lelaki itu, tenggorokanku
terasa tercekat, ingin sekali rasanya berteriak sekeras mungkin untuk
mengurangi beban yang ada dihati, namun nyatanya hatiku terus saja kubiarkan
berbohong, kubiarkan ia menahan segala jeritan yang begitu pedih untuk
disuarakan. Agar apa? supaya orang-orang tidak memandangku dengan kasihan,
memandangku seperti wanita bodoh yang terus saja bertahan dan berjuang.
Tiba-tiba saja Azriel memegang tanganku dengan
sebelah tangan kirinya, rupanya ia laki-laki yang cukup peka akan keadaan. Ia
pun memamerkan senyum tiga jarinya yang begitu manis, senyum yang selalu
membuatku seketika ikut tersenyum dan berusaha menahan tawa.
"Gitu dong kak, lo jelek kalau galau-galauan ,
sedih-sedihan, baper-baperan kayak tadi "ia mengatakannya dengan begitu
ekspresif sehingga membuatku hanya menggelengkan kepala dan memandang kejendela
lagi.
Setibanya
dirumah aku langsung menaikki tangga dengan setengah berlari. Ibuku yang sedang
duduk di ruang tv pun hanya memandangku dengan tatapan sendu dan prihatin, ia
tahu jika anak perempuan satu-satunya ini sedang ingin sendiri.
Lalu aku pun mengunci pintu kamarku dan melemparkan
badanku kekasur, entah mengapa dengan sendirinya air mataku keluar lagi, bantalku
pun kini sudah basah karena air mataku yang terus saja mengalir dengan
derasnya. Bagaimana lagi? Aku sudah tidak mampu untuk menahan rasa sakit ini.
Tolong mengerti, jika kamu menjadi aku, mungkin kamu akan paham bagaimana
rasanya, bagaimana sakitnya. Tapi kamu bukan aku, sepaham apapun kamu dengan
keadaanku, kamu tidak akan pernah mengerti. Ingat, karena kamu bukan aku. Jadi
kamu cukup diam dan amati saja ceritaku ini.
***
Aku lupa
jika semalam Minggu dan hari ini Senin. Mataku sakit, untuk membuka matapun
rasanya agak perih. Beberapa kali aku mengerjapkan mata tetap saja
penglihatanku terasa tidak jelas, sehingga membuat kepalaku sedikit agak
pusing. Aku yang sedari tadi duduk diranjangpun, berbaring lagi. Kurasa aku
tidak akan mampu untuk berdiri apalagi berjalan, semuanya terasa
berputar-putar, mungkin hari ini aku tidak akan sekolah, lagipula aku benci
jika harus melihat wajahnya, aku benci jika harus mendengar suaranya dan aku
benci jika harus berpura-pura tidak tahu apa-apa didepannya.
Hei? Untuk apa aku harus berpura-pura? Aku bisa saja
langsung menampar wajahnya dan memukulnya sekeras mungkin, bahkan aku bisa saja
langsung memutuskan hubungan ini, hubungan yang sudah terjalin hampir satu
tahun ini. Tapi apakah hatiku menginginkan itu? Jika iya, aku akan segera
melakukannya. Tapi, nyatanya hatiku masih saja memanggil namanya,
Edwan.
***
Pintu
kamarku yang awalnya kukunci dari dalam terbuka dengan sendirinya, sosok itu
berdiri didepan pintu sambil menggenggam kunci cadangan, wajahnya tidak seperti
biasanya, sorot matanya seperti mengatakan suatu ancaman. Ia tidak langsung
mendatangiku, tapi ia hanya mengatakan suatu hal yang sudah sangat sering
kudengar darinya.
“Saya sudah mengatakannya dari awal, jika dia tidak
mencintai kamu”
Sialnya perkataannya kali ini seperti menghantamku,
membuatku menyadari apa yang kulakukan dari awal memang sudah salah.
“Jef...” Aku
sudah bingung dan putus asa, air mata bahkan sudah tidak mampu keluar dari
mataku, tatapanku seketika kosong, aku menatapnya tapi otakku sudah tidak bisa
diajak berpikir untuk mendeskripsikan apa-apa lagi, dan semuanya seketika
gelap.
to be continued =>
Komentar
Posting Komentar